Pendahuluan
Mengingat hukum Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga berpengaruh pada penerapan hukumnya yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalah yang terjadi.
Dalam makalah ini akan dibahas unsur-unsur yang terkait dalam kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir. Hal tersebutlah yang menjadikan latar belakang bagi penulis untuk menyusun makalah ini dan sebagai tugas dari mata kuliah Qawa’id Al-Fiqhiyah.
Pembahasan
A. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir
Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologi) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَىٰ بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنفُسِ ۚ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang akmu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)”
Yang dimaksud ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer. Sedangkan al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:
إن الد ين يسر
“Agama itu mudah, tidak memberatkan” (yusrun lawan dari kata ‘usyrun)
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Al-Musyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat puasa pada masa musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah SWT. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah.
Masyaqqah menimbulkan hukum rukhsah atau takhlif syari’at dan melengkapi darurat dan melengkapi sebagaimana hajat. Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa kita dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Al-Masyaqqah Al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat) atau bisa juga disebut sebagai “kemudaratan”, seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau rusaknya anggota badan.
2. Al-Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan).
3. Al-Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan).
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu:
1. Tahkfif isqath/ rukhsah isqath.
2. Tahkfif tanqish.
3. Tahkfif ibdal.
4. Tahkfif taqdim.
5. Tahkfif ta’khir.
6. Tahkfif tarkhis.
7. Tahkfif taghyir.
Apabila kaidah-kaidah ini dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, ternyata banyak ayat dan hadits nabi yang menunjukkan akurasi kaidah “Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir”, diantaranya:
...يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ...
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu” (QS. Al-Baqarah ayat 185)
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al-Baqarah ayat 286)
يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberi keringanan kepadamu karena manusia diciptakan bersifat lemah” (QS. An-Nisaa ayat 28)
...وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ...
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al-Hajj ayat 78)
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa syari’ah Islam selamanya menghilangkan kesulitan dari manusia dan tidak ada hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan karena di luar kemampuan manusia yang memang sifatnya lemah. Demikianlah makna umum yang bisa ditarik dari ayat-ayat di atas. Sedangkan beberapa hadits yang menguatkan kaidah di atas antara lain:
إن الدين عندالله الحنفية السمحة
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah yang ringan dan mudah”.(HR. Al-Bukhari). Ada juga yang mengartikan al-hafiyah al-samhah dengan arti cenderung kepada kebenaran dan mudah.
يسروا ولاتعسرواوبشرواولاتنفروا
“Mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah dan jangan menyebabkan mereka lari” (HR. Bukhari)
Pengecualian dari kaidah tersebut adalah: pertama, kesulitan-kesulitan yang diklasifikasikan kepada masyaqqah yang ringan. Kedua, kesulitan-kesulitan yang muncul, memang satu risiko dalam suatu perbuatan, seperti lapar ketika puasa. Kesulitan semacam ini tidak menyebabkan adanya keringanan kecuali bila kelaparan tadi membahayakan jiwanya.
B. Macam-macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir
Dari kaidah asasi tersebut di atas (Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir) kemudian di munculkan kaidah-kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu, diantaranya:[15]
1.
إذا ضاق الأمر إتسع
”Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”
Kaidah ini sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlib al- taisir”, sebab Al-Masyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula. Oleh karena itu muncul pula kaidah kedua:
إذا إتسع ضاق
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya menyempit”
Kaidah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu kaidah ini gabungkan menjadi satu, yaitu:
إذا ضاق الأمر إتسع و إذا إتسع ضاق
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”
Kaidah ini juga menunjukan fleksibilitas hukum islam yang biasa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan.
Semakna dengan kaidah di atas adalah kaidah:
كل ما تجاوز عن حده إنعكس إلى ضده
“Setiap yang melampaui Batas maka hukumnya berbalik kepada yang sebaliknya”.
Atau kaidah:
ما جاز لعذر بطل بزواله
“Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak dibolehkan lagi) dengan hilangnya halangan tadi”
Contoh penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan saum. Larangannya tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan saum ramadhan kembali lagi dan boleh lagi melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.
2.
إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada menggantinya”
Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang meminjam harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut sudah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan harga demikian juga dengan halnya dengan orang yang meminjam suatu benda kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran. Dalam fiqh Siasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan misalnya, ada istilah PJMT (Pejabat yang Melaksanakan Tugas) karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas yang lain sebagai penggantinya.
3.
ما لا يمكن التحرز منه معفوعنه
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarakannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Darah yang ada pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.
4.
الرخص لا تناط بالمعصى
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini dugunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa) seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi lagi kehabisan uang dan kelaparan dan kemudian ia makan daging babi. Maka ia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rusakhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk Kasbu Al-Halal (usaha yang halal) kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
5.
إذا تعذرت الحقيقة يصار إلى المجاز
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contonya: seseorang berkata: “saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Anas”. Padahal tahu bahwa anak Kyai Anas tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal dunia .
6.
إذا تعذر إعمال الكلام يهمل
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
7.
يغتفرفي الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan bayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewanya dalam arti melanjutkan sewaannya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama kali.
8.
يغتفر في الإبتداء ما لا يغتفر في الدوام
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Dhabith ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang. Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena se-nasab, mushaharah (persemendaan), maupun karena persusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau persusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. Contoh lain: seseorang yang baru masuk Islam minum miniman keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacamitu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan tersebut.
9.
يغتفر في التوابع ما لا يغتفرفي غيرها
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.
Kesimpulan
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir ialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan ataukesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Kaidah “Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir” menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih.
Daftar Pustaka
Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007.
Ma’Shum Zein, Muhammad, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa Jombang: Al-Syarifah Al-Khadijah, 2004.
Musbikin, Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Tim, Kamus Al-Munir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia), Surabaya: Kashiko, 2000.
Yasid, Abu, Aspek-aspek Penelitian Hukum (Hukum Islam-Hukum Barat), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Makalah ini dikutip dari http://www.abdulhelim.com/search/label/Qawaid%20al-Fiqhiyyah.
0 komentar:
Posting Komentar