BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toleransi (Tasamuh) adalah suatu konsep yang menggambarkan sikap saling menghormati dan saling menghargai di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Dalam konteks toleransi antar umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” adalah contoh dari toleransi dalam Islam. Selain ayat tersebut, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai surat dalam al-Qur’an serta sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep yang asing.
Adapun penulisan makalah ini dilatarbelakangi oleh surat Al-Kafirun ayat 1-6, yang berbunyi:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (٢) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٣) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (٤) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٥) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (٦)
Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir! (1) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2), dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (3), dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4), dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah (5). Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (6)."
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa surat ini merupakan surat yang menyatakan berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, serta memerintahkan untuk ikhlas di dalam mengerakannya. Dalam tafsiran lain dijelaskan bahwa maksud berlepas diri disini adalah berlepas diri dari peribadatan orang-orang kafir yang menyembah berhala dan sejenisnya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Quraisy berusaha mempengaruhi Nabi saw. dengan menawarkan kekayaan agar beliau menjadi seorang yang paling kaya di kota Makkah, dan akan dikawinkan dengan yang beliau kehendaki. Usaha ini disampaikan dengan berkata: "Inilah yang kami sediakan bagimu hai Muhammad, dengan syarat agar engkau jangan memaki-maki tuhan kami dan menjelekkannya, atau sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun." Nabi saw menjawab: "Aku akan menunggu wahyu dari Tuhanku." Ayat ini (S.109:1-6) turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai perintah untuk menolak tawaran kaum kafir. Dan turun pula Surat Az-Zumar ayat 64 sebagai perintah untuk menolak ajakan orang-orang bodoh yang menyembah berhala. (Diriwayatkan oleh at-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum kafir Quraisy berkata kepada Nabi saw.: "Sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami (menyembah berhala) selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun pula." Maka turunlah Surat Al-Kafirun (S.109:1-6). (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq yang bersumber dari Wahb dan Ibnul Mundzir yang bersumber dari Juraij).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Walid bin al-Mughirah, al-'Ashi bin Wail, al-Aswad bin Muthalib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan Rasulullah saw dan berkata: "Hai Muhammad! Mari kita bersama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami." Maka Allah menurunkan ayat ini (S.109:1-6). (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Mina).
Adapun, firman Allah Ta’ala: (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir!’.” Mencakup setiap orang yang kafir yang ada di muka bumi ini, tetapi orang-orang yang dituju dalam pembicaraan ini adalah orang-orang kafir Quraisy. Dan firmannya: (لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ) “aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.” Yakni patung dan tandingan lainnya. (وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ) “dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.” Yaitu Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan kata مَا di sini bermakna مَنْ (siapa).
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman: (وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ) “dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.” Maksudnya, dan aku tidak akan pernah menyembah sembahan kalian. Artinya, aku tidak akan menempuh jalan kalian dan tidak juga mengikutinya. Tetapi, au akan senantiasa beribadah kepada Allah dengan cara yang Ia ridhai. Oleh karena itu, Allah berfirman: (وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ) “dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.” Maksudnya, kalian tidak akan pernah mengikuti perintah-perintah Allah dan syari’at-Nya dalam menyembah-Nya, tetapi kalian telah memilih sesuatu dari diri kalian sendiri. Dengan demikian, Rasulullah saw terlepas dari segala aktivitas mereka, karena sesungguhnya setiap orang yang beribadah tentu memiliki sembahan dan ia menyembahnya. Dan Rasululllah saw serta para pengikutnya senantiasa beeribadah kepada Allah atas apa yang Dia syari’atkan. Oleh karena itu, kalimat Islam (syahadat) berbunyi: لآ إِلهَ إِلَّا اللّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّهِ “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah,” artinya tidak ada sembahan kecuali Allah semata, dan tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kepada-Nya kecuali apa yang dibawa oleh Rasul-Nya saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw berkata kepada mereka: (لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ) “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴿ وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ ﴾
"Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Yunus: 41)
Sebab turunnya surat ini merupakan upaya kafir Quraisy untuk menghentikan dakwah Rasulullah saw, dimana dari semua usaha mereka tidak ada satupun yang berbuah hasil. Dan upaya lain mereka dalam menghentikan dakwah Rasulullah saw diantaranya adalah:
Pembesar Quraisy meminta kepada Rasulullah saw agar ia tidak menerima kaum fakir dan miskin yang ingin memeluk Islam. jika disepakati, selruh kafir Quraisy akan beriman kepada Allah swt. Oleh karena hal itulah, Allah swt berfirman:
﴿وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ﴾
Dan janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan keridhaan-Nya. Engkau tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan engkau (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim. (Al-An’am: 52)
Kafir Quraisy meminta Rasulullah saw untuk menunjukan kemukjizatannya. Dengannya, mereka akan beriman kepada Allah swt. Namun, Rasulullah saw mengabakan permintaan mereka dan bersabda, “saya tidak akan melakukan ha itu, kecuali Tuhanku yang memintanya.” Lalu, turunlah firman Allah swt:
﴿ وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعًا (٩٠) أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيرًا (٩١) أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا (٩٢) أَوْ يَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا (٩٣) ﴾
Dan mereka berkata: "Kami tidak akan percaya kepadamu (Muhammad) sebelum kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami (90), atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan di celah-celahnya sungai yang deras alirannya (91), atau engkau jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana engkau katakan, atau (sebelum) engkau datangkan Allah dan para malaikat berhadapan muka dengan kami (92), atau engkau mempunyai sebuah rumah (terbuat) dari emas, atau engkau naik ke langit. Dan kami tidak akan mempercayai kenaikanmu itu sebelum engkau turunkan kepada kami sebuah kitab untuk kami baca." Katakanlah (Muhammad): "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?"
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut perlu adanya pembahasan lebih lanjut mengenai ‘Urgensi Toleransi dalam Berdakwah’ yang secara sistematis dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal, yaitu:
1. Apa itu toleransi?
2. Apa saja asas-asas toleransi?
C. Maksud dan Tujuan
Berangkat dari rangkaian rumusan masalah diatas, dapat disimpulkan beberapa tujuan pokok, diantaranya:
1. Mengetahui makna toleransi.
2. Mengetahui asas-asas toleransi.
Selain beberapa tujuan diatas, makalah ini juga dimaksudkan untuk peningkatan pemahaman dan pengembangan di bidang Metodologi Dakwah, khususnya mengenai urgensi toleransi dalam berdakwah. Kemudian makalah ini juga merupakan suatu ikhtiar untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Dakwah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Toleransi
Secara kebahasaan, kata ‘toleransi’ (tolerance) dalam bahasa inggris memiliki makna: toleransi; kesabaran; kelapangan dada; daya tahan, dst. Sedangkan dalam ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’, toleransi diartikan sebagai: sifat atau sikap toleran; batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yg masih diperbolehkan, dst.
Dalam bahasa Arab toleransi disebut dengan ‘Tasâhul’ atau ‘Tasâmuh,’ yang merupakan kata benda dari kata kerja ‘Tasâmaha-Yatasâmahu,’ yang berarti kelapangan dada atau toleransi.
Tasâmuh dalam pengertian umum adalah suatu sikap saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang telah digariskan Islam. Dalam kaitannya dengan komunikasi antar manusia, tasâmuh dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Tasâmuh antara sesama muslim, seperti: saling tolong-menolong, saling menyayangi, menjauhkan diri dari saling mencurigai, dst.
2. Tasâmuh terhadap non-muslim, seperti: menghargai hak-hak mereka sebagai sesama manusia dan sesama anggota masyarakat dalam suatu negara.
Dalam kaitannya dengan ‘pluralitas’, Islam memandang bahwa perbedaan keyakinan merupakan sunnatullah. Doktrin Islam dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dalam berbagai bangsa dan suku (QS. Al-Hujurat: 13). Hal ini mengindikasikan bahwa pluralitas (dalam berbagi bangsa) merupakan bagian dari ayat-ayat Allah.
Dalam sejarah islam pun, pluralitas sangat dihargai ketika Islam baru pertama kali berpengaruh di Madinah. Eksistensi masyarakat Yahudi dan Nasrani tetap diakui oleh Nabi melalui Piagam Madinah. Sebagai warga, mereka tidak dipaksa untuk memeluk Islam, tetapi justru dihargai hak-haknya dalam memeluk agama masing-masing dan tetap diakomodasi sebagai warga Madinah.
Jadi, sikap menghargai pluralisme adalah sikap yang natural, logis dan merupakan perwujudan tingkat kedewasaan seseorang dalam menerima kenyataan sejarah. Ajaran Islam sendiri membenarkan dalam perbedaan, seperti firman Allah swt dalam QS. Hud ayat 118-119 yang artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat) (118), kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya (119).
B. Asas-asas Toleransi
1. Prinsip Ajaran Islam
Kemerdekaan berkeyakinan/ beragama
Kemerdekaan dalam berkeyakinan menjadi menjadi prinsip ajaran Islam, sebagaimana yang tertera di dalam QS. Al-Baqarah ayat 256:
﴿ لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ...الآية ﴾
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat (256).
Ayat di atas mengungkapkan bahwa keimanan adalah hak asasi manusia.
Hal-hal yang perlu digarisbawahi dalam prinsip ini, adalah:
a. Beragama atau berkeyakinan itu timbul dari hati nurani sendiri.
b. Kekuatan toleransi merupakan kedekatan kepada mencintai kebebasan.
c. Menghormati upacara atau peribadatan orang lain tanpa menjual keyakinan.
d. Ketegasan ajaran Islam merupakan daya tarik yang kuat.
e. Toleransi membuka pikiran dan ilmu pengetahuan.
2. Berlapang Dada Terhadap Kekuatan Ajaran
Mengumpulkan pendapat-pendapat cendekiawan ke dalam ajaran Islam, yang dipilih dan dipelajarinya dengan teliti. Mencari kepuasan, mencari pedoman dan sikap dari penganut ajaran Islam sendiri yang banyak dihargai oleh umat yang memilih Islam sebagai jalan hidup.
Menurut mereka, ajaran Islam itu:
a. Mudah, rasional dan praktis.
b. Bersatunya benda dan ruhani.
c. Jalan hidup yang sempurna.
d. Ada keseimbangan perorangan dan masyarakat.
e. Universal dan kemanusiaan.
f. Stabil dan berkembang.
g. Ajaran yang terpelihara dari perubahan.
Menurut Dr. Sayid al-Wakil:
“Dakwah mengumpulkan hati dengan cinta dan ikhlas.
Dakwah membekali penganutnya dengan sabar dan berani, dimana ia menghujam dalam dada sebagai akidah yang dinamisdan menggemuruh.” Ungkapan Dr. Sayid al-Wakil menunjukkan bagaimana penebaran dakwah dan perembesan secara damai berjalan seperti air yang mengalir.
Di sisi lain ada pertanyaan mengapa Islam memerangi pasukan Tartar? Komentar Dr. Sayid al-Wakil, “Setiap muslim berkewajiban mempertahankan wilayah dan tanah airnya jika ia diganggu oleh kelompok manapun. ”
Dari pembahasan di atas dapat dijelaskan di saat kapan dan di mana dakwah itu merembes dengan perdamaian dan orang-orang non-muslim dengan mencari sendiri, mengolah sendiri, mempelajari sendiri penampilan penganut yang mengajak mereka untuk mendapat hidayah Allah swt serta di saat kapan mereka harus waspada dan melawan apabila diserang sangat bergantung kepada kebijakan penganut.
3. Dialog
Salah satu cara bagian dari toleransi ialah mengajak berdialog untuk menghilangkan kefanatikan, mengurangi keterbatasan dan cara pandang yang sempit hingga penganut ajaran perlu diajak memperluas cara pandang antara berbagai agama dibahas lebih jauh. Antara orang yang berbeda keyakinan perlu didialogkan hingga menemukan titik temu dan titik rawan. Biasanya kepicikan dan kelicikan tidak mengangkat martabat penganutnya justeru hal tersebut bertentangan dengan ajarannya sendiri. Oleh sebab itu, toleran yang digambarkan oleh ajaran Islam merupakan metode unggulan dari ajaran Islam itu sendiri.
Merupakan hal yang biasa apabila kita melihat upaya lain di luar agama sendiri, Menurut Alwi Shihab, “Titik temu Kristen dengan Islam dalam meredam konflik agama adalah bahwa pemeluk agama perlu mendialogkan titik temu dan titik rawan antara keduanya.” Mendialogkan ha-hal tersebut merupakan problem umat manusia yang perlu dicari solusinya. Apabila kita kita dapat menemukan titik temu maka kita juga berusaha menemukan titik rawan.
4. Action Penganut
Dari hasil berdialog diharapkan pendewasaan dalam sikap beragama dari sejarah Islam menghormati perjanjian yang telah dibuatnya dan mereka dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Hanya mereka yang memiliki kepercayaan diri akan kebenaran agamanya serta kekuatan ilmu yang bisa berbuat toleran dan kasih sayang pada kelompok lain seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.
Kalau mereka lemah secara ekonomi mari kita bantu, kalau mereka lupa mari kita ingatkan, kalau mereka tersisih mari kita tengok dan kita rangkul. Oleh sebab itu, sikap in-toleransi, keras kepala, memaksa, tidak menerima hasil kesepakatan, merasa kalah dan rendah apabila pendapat orang lain yang diterima merupakan suatu ciri ketidakdewasaan dalam sikap beragama.
Merealisasikan toleransi tanpa menjual keyakinan sebagai umat Islam pengertiannya adalah akidah yang kita yakini tidak boleh kabur karena alasan toleransi. Toleransi dalam dalam Islam tidak mengenal kompromi dalam akidah. Wallahua’lam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Toleransi dalam Islam adalah autentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap ahistoris (berlawanan dengan sejarah), yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.
Daftar Pustaka:
Al-Qur’an dan Terjemahan “Mushaf al-Azhar”. Bandung: Penerbit Hilal.2010.
Az-Zuhaily, Wahbah. Tafsir al-Munir. Damaskus: Darul Fiqr. 2005.
Chamim, Asykuri Ibn, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Diktilitbang PP Muhammadiyah. 2003.
Echols, John M, Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1996.
Katsir, Ibnu. Terjemah Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2010.
Khalid, ‘Amr. Jejak Rasul: Membedah Kebijakan dan Strategi Politik dan Perang. Jogjakarta: A+ Plus Books. 2009.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.
Munir M, dkk. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana. 2006.
0 komentar:
Posting Komentar