Jumat, 13 Juni 2014

Kumpulan Kaidah Fikih Ghair al-Asasiyah Bagian 1


Pendahuluan

Qawaidul Fiqhiyah atau biasa disebut kaidah-kaidah fikih adalah ketentuan-ketentuan yang bersifat kulli (menyeluruh atau umum) yang mencakup bagian-bagiannya. Bisa juga dikatakan sebagai ketentuan umum yang menghukumi beberapa bab pembahasan masalah fikih. Terkait dengan hakikat dari kaidah fikih itu sendiri, dapat dilihat kembali pada artikel makalah tentang hakikat qawaid fiqhiyah sebelumnya. Jelasnya, kaidah-kaidah fikih ini sangat penting dalam kehidupan manusia. Salah satu manfaatnya yaitu agar dapat mengetahui prinsip-prinsip umum fikih.
Dalam ilmu qawaidul fiqhiyah, kaidah-kaidah fikih ada yang disebut  qawaid al-fiqhiyah al-asasiyyah dan ada pula yang disebut qawaid al-fiqhiyah ghairu asasiyyah atau yang disebut dengan kaidah-kaidah fikih yang bukan merupakan kaidah asasiyyah. Khususnya dalam makalah ini yang akan dibahas adalah kaidah-kaidah fikih yang bukan merupakan kaidah-kaidah dasar yang lima seperti yang dibahas pada artikel-artikel sebelumnya seperti kaidah tentang al-Umuru bi Maqaashidiha, al-Yaqin laa Yuzalu bi asy-Syakk, al-masyaqqah tajlib at-taisir, adh-adhararu yuzal, dan kaidah al-’adah muhakkamah. Namun demikian, 
kaidah yang dibahas dalam makalah ini tetap disebut sebagai kaidah kulli (menyeluruh atau umum) sehingga berlaku pula untuk persoalan-persoalan hukum Islam (fikih) dalam berbagai bidang sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pembahasan

Pengertian Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Ammah Ghairu Asasiyyah

Qawaidul Fiqhiyyah menurut bahasa berarti dasar-dasar yang berhubungan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fikih). Sedangkan menurut istilah ahli ushul, qawaidul fiqhiyyah adalah hukum yang biasa berlaku bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya. Jadi, qawaidul fiqhiyyah adalah suatu perkara kulli yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya, yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang tersebut.

Sedangkan qawaid al-fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah seperti yang diuraikan sebelumnya. Kaidah tersebut adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan cakupannya luas. Kaidah ini berlaku dalam berbagai cabang hukum fikih. Di antaranya yaitu dalam bidang muamalah, peradilan, jinayah dan hukum keluarga.

Manfaat Kaidah Fikih

Kaidah-kaidah fikih sangat penting dan bermanfaat bagi ilmu fikih. Manfaat kaidah fikih ini antara lain, yaitu:

1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fikih sehingga dapat mengetahui titik temu dari masalah-masalah fikih.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fikih dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berlainan.

Beberapa Kaidah-Kaidah Ghair Asasiyyah

Berikut ini sembilan macam kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah (al-qawaid al-fiqhiyyah al-ammah ghairu asasiyyah), yaitu:

1)
 ﻤﺎ ﻻ ﻴﺘﻢ ﺍﻠﻮﺠﺐ ﺇﻻ ﺒﻪ ﻔﻬﻮ ﻮﺍ ﺠﺐ
”Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula ada.”

Maksud kaidah ini yaitu apabila suatu kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya perbuatan atau hal lain maka perbuatan tersebut wajib pula dilaksanakan.

Contoh: shalat adalah wajib dan shalat tidak sah apabila tidak suci dari hadas dan berwudhu, maka suci dari hadas dan berwudhu juga wajib dilakukan. Contoh lainnya, membayar hutang itu wajib, maka bekerja ekstra untuk dapat membayar hutang sampai lunas adalah wajib, karena apabila bekerja hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup saja, tentunya dapat berakibat tidak terbayarnya hutang.

Kaidah ini diperkuat dengan kaidah:

ﻠﻠﻮﺴﺎﺌﻞ ﺤﻜﻢ ﺍﻠﻤﻘﺎﺼﺪ
”Hukum wasilah/sarana adalah sama dengan hukum tujuan”

Contoh: Menunaikan ibadah haji itu wajib bagi yang mampu, maka wajib pula menyediakan sarana-sarana dalam pelaksanaan ibadah haji.”

ﻤﺎ ﺤﺮﻢ ﺇﺴﺘﻌﻤﺎ ﻠﻪ ﺤﺮﻢ ﺇﺘﺧﺎﺬﻩ
“Apa yang diharamkan untuk  digunakan, maka  haram pula mendapatkannya/membuatnya”

Maksudnya yaitu sesuatu yang haram digunakan, baik haram dimakan, diminum ataupun dipakai, maka haram pula hukum mendapatkannya atau membuatnya.

Contoh: Memakan bangkai dan binatang yang diharamkan dalam islam, maka haram pula menerimanya, membelinya, menjualnya dan membuat tempat sarana-sarana lainnya.

3. Kaidah Ketiga

ﻤﺎ ﺤﺮﻢ ﺃﺧﺬﻩ ﺤﺮﻢ ﺇﻋﻂﺎﺀﻩ
“Apa yang diharamkan untuk diambil atau dibuat, maka haram pula memberikannya”

Contoh: Haram mengambil barang milik orang lain, maka haram pula memberikan barang tersebut kepada orang lain.

4)
ﺍﻠﻤﺸﻐﻮﻞ ﻻ ﻴﺸﻐﻞ
“Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh dijadikan objek perbuatan lainnya”

Contoh: Apabila seseorang telah meminjamkan pulpennya kepada adiknya misalnya, maka ia (kakak atau yang meminjamkan) tidak boleh lagi hendak meminjamkan pulpennya tersebut kepada temannya, terkecuali sang adik telah mengembalikan pulpen tersebut kepadanya terlebih dahulu. Begitu juga dengan permasalahan hukum Islam lainnya.

5)
ﻴﻘﺒﻞ ﻘﻮﻞ ﺍﻠﻤﺘﺮﺟﻢ ﻤﻄﻠﻘﺎ
“Kata-kata seorang penerjemah diterima tanpa syarat”

Contoh: Seorang turis Amerika yang sedang berlibur ke Indonesia, maka ia harus menerima terjemahan bahasa dari pemandu wisatanya.

6)
ﺍﻠﻨﻌﻤﺔ  ﺒﻘﺪﺮ ﺍﻠﻨﻘﻤﺔ ﻮﺍﻠﻨﻘﻤﺔ ﺒﻘﺪﺮ ﺍﻠﻨﻌﻤﺔ 
“Kenikmatan disesuaikan dengan kadar jerih payah dan jerih payah disesuaikan dengan kenikmatan”
Maksudnya yaitu suatu keuntungan diukur dengan pengorbanan dan pengorbanan diukur menurut keuntungan. Potongan pertama dari kaidah ini sering diungkapkan dengan “al-ujrah bi qadri al-masyaqqah”, artinya upah diukur dengan jerih payah atau kesulitan. Makin sulit mencapai sesuatu, maka makin tinggi pula nilai yang didapat. Makin berat godaannya, makin besar pahalanya.

Contoh: Seorang siswa yang rajin belajar akan mendapatkan pengetahuan lebih luas dibandingkan dengan siswa yang kurang rajin belajar, karena pengetahuan yang luas sepantasnya diperoleh oleh siswa yang rajin.

7)
ﻻ ﻤﺴﺎﻍ ﻠﻺ ﺠﺘﻬﺎﺪ ﻔﻲ ﻤﻮﺮﺪ ﺍﻠﻨﺺ  
“Tidak diperkenankan ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya”

Maksud nash disini yaitu ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai sumber hukum. Kaidah di atas dapat dipahami bahwa apabila teks hukum sudah jelas, maka tidak perlu lagi ada penafsiran.

Contoh: Hukum meminum khamar itu sudah jelas haram, maka tidak perlu lagi berijtihad untuk mencari untuk menetapkan hukumnya lagi atau hanya mencari-cari agar bisa menjadi halal.

8)
ﺍﻠﻤﻴﺴﻮﺮﻻ ﻴﺴﻘﻄ  ﺒﺎﻠﻤﻌﺴﻮﺮ
“Suatu perbuatan yang mudah dijalankan, tidak menggugurkan perbuatan yang sukar dijalankan”

Maksudnya yaitu adanya suatu perbuatan yang mudah dikerjakan dan ada pula perbuatan yang sulit dilakukan, namun keduanya memiliki keterkaitan. Kalau kedua perbuatan tersebut sama-sama merupakan kewajiban, maka keduanya tetap dilakukan sedapat mungkin.

Contoh: Seorang suami berkewajiban memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya, namun ia hanya mampu memberikan nafkah yang relatif sedikit karena pekerjaannya hanya sebagai seorang buruh, maka berilah nafkah tersebut. Tidak berarti karena ia hanya bisa memberikan nafkah sedikit lalu dia boleh meninggalkan kewajiban memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya tersebut. Kaidah di atas mirip dengan kaidah

9)
ﻤﺎ ﻻﻴﺪﺮﻚ ﻜﻠﻪ ﻻ ﻴﺘﺮﻚ ﻜﻠﻪ
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan secara keseluruhan, jangan ditinggalkan seluruhnya”

Kaidah-kaidah tersebut mendapat pengukuhannya dengan hadis Nabi:

ﺇﺬﺍ ﺃﻤﺮﺘﻜﻢ ﺒﺄﻤﺮﻔﺄﺘﻮﺍ ﻤﻨﻪ ﻤﺎ ﺍﺴﺘﻄﻌﺘﻢ
“Apabila aku memerintahkan kamu sekalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu semampu  kalian.” (HR. Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas)

ﻴﺪﺨﻞ ﺍﻠﻘﻮﻱﻋﻠﻰ ﺍﻠﻀﻌﻴﻒ ﻮﻻﻋﻜﺲ
“Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya”

Contoh: Seseorang melakukan kejahatan-kejahatan yang hukumannya berbeda, misalnya mencuri kemudian berzina. Maka hukumannya adalah potong tangan dan dirajam. Maka dalam kaidah ini hukuman rajam bisa menyerap hukuman potong tangan, namun tidak sebaliknya.

Penutup

Qawaid al-fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah. Kaidah ini adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan cakupannya luas yaitu mencakup berbagai cabang hukum fikih.  Misalnya dalam bidang muamalah, peradilan, jinayah dan hukum keluarga. Kaidah-kaidah fikih sangat bermanfaat dalam ilmu fikih. Salah satu manfaatnya yaitu dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi dengan disesuaikan menurut waktu dan tempat penerapan hukum (fikih) yang berbeda-beda.

Oleh Novi Angga Safitri (Mahasiswa Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya, dan dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester genap  tahun 2012). 

Makalah ini dikutip dari http://www.abdulhelim.com/search/label/Qawaid%20al-Fiqhiyyah.

0 komentar:

Posting Komentar