Kamis, 12 Juni 2014

Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzal


Pendahuluan

Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzal. Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang memerlukan suatu penyelesaian, maka dari itu para Ulama membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah tersebut. Dimana salah satu kaidahnya adalah kaidah asasiyyah “adh-Dhararu Yuzal
Kaidah asasiyyah “adh-Dhararu Yuzal” yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.


Pembahasan

A. Kaidah Asasiyyah

1. Teks Kaidah

اَلضُّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan harus dihilangkan.” (as-Suyuti, TT:59)
      Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan.
Yang dimaksud “darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum. Sedangkan yang dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa tidak diperkenankan menanganinya secara khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan. Dan faktor inilah inilah, maka kaidah ketiga dipakai, yaitu:

اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِيبُ التَّيسِيْر
“Kesukaran itu melahirkan kemudahan.”

2. Dasar-dasar Nash Yang Berkaitan
Firman Allah SWT:

...إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ...
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(al-Qashash: 77)

...وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا... 
“janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)
Hadits Nabi SAW:

لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

3. Perbedaan Antara Masyaqqot (kesulitan) Dengan Darurat
            Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili, 1982:218)

B. Macam-Macam Kaidah

Kaidah Asasiyyah terdapat 10 (sepuluh) kaidah yang merupakan sub-sub kaidah tersebut, yaitu:

1. Teori Pertama

اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kemadharatan itu membolehkan yang dilarang”

            Di kalangan Ulama Ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang adalah kadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b) Keadaa darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c) Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Adapun dasar pijakannya adalah firman Allah sebagai berikut:

...فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 
“Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
      Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut, maka dalam keadaan terpaksa, seseorang boleh diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang dalam kebiasaannya melakukannya, kemungkinan besar sekali menimbulkan kemadhatratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah-fiqih tersebut merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (general law), artinya orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang oleh agama.
Contohnya: Diibaratkan disuatu desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah dalam keadaan kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada seorang bidan dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan bagi dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.

2. Teori Kedua

اَلضُّرُوْرَاتُ تُقَدَّ رُبِقدَرِهاَ
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, harus diperkirakan menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”

            Kaidah diatas sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas, tetapi hanya sekedarnya.
            Oleh sebab itu, jika kemudharatan atau keadaan yang memaksa tersebut sudah hilang, maka hukum kebolehan yang berdasarkan kemudharatan menjadi hilang juga, artinya perbuatan boleh kembali keasal semula, yaitu terlarang.
Dari adanya kaedah tersebut, maka muncul kaedah sebagai berikut:

ماَجاَزَلِعُذْ رٍبَطَلَ بِزَوَالِهِ
“Apa saja kebolehannya karena ada alasan kuat (uzur), maka hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.”

Contoh: Diibaratkan seorang dokter laki-laki yang sedang memeriksa pasien perempuan. Maka bagi dokter tersebut hanya boleh memriksa (melihat) bagian yang sakitnya saja, dan tidak diperbolehkan (melihat) yang lainnya.

3. Teori Ketiga

الضَّرَرُيُزَّالُ بِقَدْ رِالإِمْكَانِ
“Kemudharatan itu harus ditinggalkan sedapat mungkin.”

            Maksud dari kaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemudharatan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan usaha-usaha preventif agar terjadi suatu kemudharatan, dengan segala daya upaya mungkin dapat diusahakan.

Contoh: Diibaratkan seseorang dokter yang akan melakukan operasi kepada pasiennya dengan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) sebagai obat bius. Namun, disitu masih ada obat yang tidak mengandung (narkoba). Maka, dokter tersebut tidak boleh memberikan  obat bius yang mengandung obat-obatan terlarang tersebut.

4. Teori Keempat

اَلضَّرَرُلاَيُزَلاَ يُزَالُ باَلضَّرَرِ
“Kemudharatan tidak bisa hilang dengan kemudharatan lain.”

            Maksud kaidah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan yang lain yang sebanding keadaannya.

Contoh: Diibaratkan seorang pasien yang memiliki penyakit ginjal, sedang si pasien tersebut ingin menyumbangkan salah satu ginjalnya untuk pasien yang lain dengan alasan ingin menolongnya.

5. Teori Kelima

إِذَاتعارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهماَ
“Jika terjadi pertentangan antara dua macam mufsadat, maka harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya dengna melakukan yang lebih ringan.”

            Maksud kaidah ini, manakala pada suatu ketika datang secara bersamaan dua mufsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakah diantara mufsadat itu yang lebih kecil ata lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih kecil atau yang lebih ringan mudharatnya.

6. Teori Keenam

الضَّرَرُاْلأَشَدُّ يُزَال بِالضَّرَرِاْلأَخَفِّ
“Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan.”

Contoh: Diibaratkan ada seorang anak laki-laki remaja yang mempunyai nafsu (seks) yang sangat tinggi dan dia tidak tahan bila mana melihat seorang wanita yang memakai pakaian seksi. Maka dibolehkan bagi anak laki-laki tersebut untuk melakukan onani demi menjaga kehormatannya dari pada dia melakukan suatu perjinahan.

7. Teori Ketujuh

الضَّرَرُلاَيَكُوْنُ قَدِيمًا
“Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.”

            Maksud kaidah diatas adalah, kemudharatan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudharatan tersebut telah ada sejak dahulu.

Contoh: Diibaratkan ada sesorang yang sangat senang berbohong (membohongi orang lain) sampai-sampai dia dianggap sebagai pembohong. Maka, orang tersebut harus dinasehati/ditegur supaya dia sadar akan kesalahannya tersebut.

8. Teori Kedelapan

اَلْحاَجَةُتُنَزَّلُ مَنْزِلَةَالضُّرُوْرَةِعَامَّةًكَانَتْ أَوْخَاصَّةً
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.”

            Menurut kaedah ini, kejahatan yang sangat mendesak, dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat.

Contoh: Diibaratkan Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi kecelakaan lalu lintas karena sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Hal tersebut dibolehkan demi kepentingan orang banyak.

9. Teori Kesembilan

كُلُّ رُخْصَةٍأُبِيحَتْ للِضَّرُورَتِ وَالحَاجَةِلَمْ تُسْتَبَحْ قَبْلَ وُجُودِهَا
“Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.”

            Dhabith di atas ditemukan dalam kitab al-Isyraf karya Qadhi Abd al-Wahab al-Malik. Sedangkan dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir, ada dhabith, yaitu:

الحَاجَةُإِذَاعَامَت كَالضَّرُورَةِ
“al-Hajah apabila bersifat umum adalah seperti kondisi darurat.”

Contoh: Diibaratkan seseorang yang bekerja dihutan, sedang pesangon (sembako) yang dibawanya telah habis dan pekerja tersebut dalam keadaan sangat kelaparan. Lalu pekerja tersebut mencari-cari makanan dihutan namun tidak menemukan satu pun makanan yang halal (bangkai-bangkai huwan yang masih segar (rusa, kancil)) maka, pekerja tersebut boleh memakannnya karena tidak ada lagi makanan yang halal.

10. Teori Kesepuluh

كُلُّ تَصَّرُفٍ جَرَّفَساَدًاأَودَفْعَصَلاَحاًمَنْهِىعَنْهُ
“Setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.”

Contoh: Diibaratkan seseorang yang merasa dia orang yang kaya namun, dia sangat senang menghambur-hamburkan uangnya (boros) tanpa ada manfaatnya.

Kesimpulan

            Dari pembahasan makalah ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa kaidah ini adalah kaidah kedua dari panca kaidah asasiyyah yang telah dibahas sebelumnya. Kaidah ini membahas tentang Kemudharatan Harus Dihilangkan. Yang dimana maksud dari kaedah tersebut adalah, dalam keadaan yang bisa berakibat fatal, maka seseorang tersebut bisa mengatasinya dengan cara melanggar hukum., namun dalam batasan-batasan tertentu.     

Daftar Pustaka

Djajuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, Jakarta: Pranada Media Grup, 2007
Musbikin, Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarata: RajaGrafindo Perseda, 2001
Usman, Muclis, Kaidah-kaidah Istinbat Hukum Islam (Kaidah-kaidah UIshuliyah dan Fiqhiyah), Jakarta: PT RajaGrafindo Perseda, 2002
Zein, Muhamad Mas’ud, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), Jawa Timur: Al-Syarifah Al-Khadizah, 2006
http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, akses 7-4-2012, 16:45 WIB

Makalah ini dikutip dari http://www.abdulhelim.com/search/label/Qawaid%20al-Fiqhiyyah.

0 komentar:

Posting Komentar